Artikel

Kegamangan Menghadapi New Normal dan Hal-hal yang Harus Disiapkan

Halah, sebagian dari kita sebenarnya masih saja kesulitan untuk mendefinisikan kata milenial bahkan dalam menetapkan batasan-batasan atas makna kata tersebut. Malah sekarang ketambahan sebuah kata baru selama pandemi Covid-19 ini.

Akhir-akhir ini, kata new normal kerapkali terdengar dalam perbincangan. Entah itu kalimat berita televisi, konten media daring (dalam jaringan), obrolan warung wassap, seminar-seminar garing di aplikasi Zoom, atau trendingtopic di Twitter.

New normal jika diterjemahkan secara plek-plekan akan berarti normal baru. Kata tersebut jelas menggambarkan sebuah proses atau sebuah kondisi. Ivan Lanin, pakar bahasa Indonesia, mengusulkan padanan kata newnormal yaitu kenormalan baru, kelaziman baru, atau kewajaran baru. Dari padanan ini, kita dapat ketahui adanya suatu perubahan kondisi yang signifikan dari sebelumnya.

Omong-omong soal perubahan kondisi yang signifikan, dalam tiga bulan terakhir ini di beberapa wilayah Indonesia melakukan pembatasan sosial, baik sebatas imbauan ataupun berskala besar. Langkah-langkah tersebut diambil guna membatasi pergerakan orang untuk menularkan virus ini. Meski hasilnya tak sesuai dengan harapan akibat masyarakat yang tidak patuh dan disiplin serta pemerintah yang plin-plan cum klemar-klemer.

Wacana untuk melakukan pelonggaran pembatasan sosial sudah mengemuka beberapa waktu belakangan. Tapi banyak pihak mengingatkan pemerintah seharusnya mengecek kembali beberapa indikator kesiapan sebelum mengambil keputusan. Harapannya, kebijakan yang didasari dengan analisa yang baik akan diikuti oleh masyarakat dalam melaksanakan kenormalan baru ini, sebagai salah satu upaya beradaptasi dan jurus dalam mengakhiri pandemi.

Dengan adanya indikator ini, kebijakan yang diambil tak ujug-ujug hanya dikarenakan negara lain sudah melonggarkan pembatasan sosialnya. Soalnya, kan, negara ini memang agak latah, ayam, ayam, ayam….

Sulfikar Amir, pengajar Sosiologi di Universitas Teknologi Nanyang, Singapura, dalam beberapa waktu lalu melalui akun twitternya menyebut indikator yang mutlak diperiksa oleh pemerintah sebelum keputusan diambil yaitu, 1) pengetesan yang massif dan agresif, 2) pengumpulan data pandemi yang transparan dan ketat, 3) kapasitas fasilitas kesehatan yang memadai, 4) pelacakan kontak yang solid, dan 5) persepsi risiko yang tinggi di masyarakat.

Melalui situs infeksiemerging.kemkes.go.id, pada tanggal 31 Mei 2020 jumlah tes yang dilakukan Indonesia sejumlah 223.624 spesimen dengan rate kasus terkonfirmasi positif mencapai 11,84%. Berdasarkan data Worldometers, jumlah tes Indonesia per 1 juta populasi berkisar 818 orang. Sungguh rasio yang menyedihkan bagi negara seluas dan sebesar Indonesia.

Pengumpulan berbagai data yang valid  terkait dengan pandemi diperlukan dan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Selain sebagai dasar pengambilan keputusan dan kebijakan, data pandemi dapat menjadi database dalam mitigasi dan antisipasi jika terdapat pandemi pada masa mendatang.

Adapun upaya untuk menambah kapasitas tes hingga mencapai 10 ribu tes per hari oleh pemerintah perlu diapresiasi. Namun, yang perlu diperhatikan adalah seberapa mampu fasilitas dan tenaga kesehatan yang ada menampung lonjakan pasien akibat tes massif yang dilakukan.

Penilaian terhadap kesiapan fasilitas kesehatan pun menjadi krusial jika pemerintah ingin menerapkan pelonggaran pembatasan sosial dan kelaziman baru. Jangan sampai, fasilitas kesehatan yang tidak siap malah menambah permasalahan dan menyebabkan gelombang baru pandemi. Belum lagi dengan tenaga kesehatan yang sudah terengah-engah, apakah hal ini sudah dipertimbangkan, hah? Jangan buru-buru dong, enggak sabaran banget.

Dengan diperbolehkannya orang-orang beraktivitas seperti sediakala walau dengan pelaksanaan protokol kesehatan dan anjuran lainnya, potensi untuk munculnya gelombang pandemi selanjutnya makin membesar. Dengan riwayat masyarakat Indonesia yang halah gampang, pemerintah wajib meningkatkan kemampuannya dalam melakukan tracing orang-orang yang telah melakukan kontak dengan orang positif Covid-19. Kemudian, perlu disiapkan protokol dan mekanisme penjemputan kontak tersebut dan tak kalah penting bagaimana memberi pemahaman terhadap masyarakat bahwa yang positif Covid-19 bukan berarti aib.

Nah, yang bisa jadi perkara adalah para petugas dan aparat disini yang kerapkali kurang sabar. Alih-alih menjemput orang yang melakukan kontak dengan pasien, eh, nanti malah memicu Indonesian Spring pula. Kayak Amerika hari ini dalam protes atas kematian George Floyd.

Langkah selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana persepsi yang terbentuk di masyarakat terhadap kebijakan kewajaran baru dan protokol yang akan digunakan nanti. Persepsi risiko (risk perception) masyarakat menjadi penting, mengingat semakin tinggi risk perception masyarakat maka semakin berhati-hati mereka dalam beraktivitas.

Persepsi risiko di masyarakat mempengaruhi penyebaran virus dan dan keberhasilan dalam menjalankan program new normal yang dicanangkan. Penurunan laju infeksi virus secara individual terjadi melalui perilaku individu dalam menjaga diri, semisal menjalankan protokol dan pola hidup sehat. Sedangkan penekanan laju penularan virus ini harus dilakukan secara kolektif lewat physical dan social distancing yang diberlakukan pemerintah

Namun, urusan soal persepsi, pemerintah bisa gunakan LSI Denny JA sebagai konsultan persepsi publiknya. Toh mereka terbukti bisa mengendalikan persepsi pemerintah dalam pengendalian pandemi ini dibandingkan para akademisi di kampus.

Mesakno rek   😉

Penulis : Usfri Raranda

Sumber : https://nyuprus.tumblr.com/post/620051299537403904/kegamangan-menghadapi-new-normal-dan-hal-hal-yang

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *